Konferensi Rakyat Brandal Alif: Kritik Defisit APBD Rembang dan Etika Pejabat Mengemuka
Kabar Rembang – Suasana depan Kantor Bupati Kabupaten Rembang, Sabtu (23/08/2025), mendadak ramai. Ratusan warga dari berbagai elemen berkumpul mengikuti Konferensi Rakyat yang digagas oleh organisasi masyarakat sipil Brandal Alif. Dengan tema “Dilema dan Solusi Defisit APBD Kabupaten Rembang”, forum ini menjadi wadah terbuka untuk mendiskusikan problem keuangan daerah sekaligus menguji sensitivitas pejabat publik terhadap aspirasi rakyatnya.
Ketua Umum DPP Brandal Alif, Arif, dalam sambutannya mengungkapkan kekecewaan mendalam. Pasalnya, undangan kepada pihak eksekutif maupun legislatif sebenarnya telah disebarkan, namun pejabat eksekutif sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya.
“Kami sudah mengundang pihak legislatif dan eksekutif. Tapi dari eksekutif tidak ada yang hadir, dengan alasan sedang berada di luar kota. Terus terang, kami kecewa,” tegas Arif, disambut gumaman kecewa dari peserta forum.
Meski begitu, Arif tetap mengapresiasi kehadiran Ridwan, S.H., M.H., anggota DPRD Rembang dari PDI Perjuangan, yang datang sekaligus menjadi narasumber utama bersama akademisi Dr. Bonnix Hady Maulana.
Forum rakyat tersebut tidak sekadar simbolis. Perwakilan Serikat Buruh Sejahtera Independen (SBSI) 92 turut menyuarakan keresahan kaum pekerja mengenai perlindungan tenaga kerja dan jaminan kesejahteraan di tengah ketidakpastian fiskal.
Buruh menegaskan bahwa defisit APBD—jika benar adanya—akan berdampak langsung pada kebijakan daerah, termasuk pemenuhan hak-hak dasar pekerja.
“APBD Rembang masih dalam kondisi sehat, tidak defisit. Namun, saya tetap mengingatkan adanya potensi dampak penurunan dana transfer pusat. Itu harus diwaspadai bersama,” ujarnya.
Pernyataan itu turut diamini oleh Dr. Bonnix, pakar penganggaran yang hadir, meski ia tetap menekankan pentingnya transparansi fiskal agar publik tidak larut dalam spekulasi.
Salah satu sorotan tajam dalam forum ini adalah ketidakhadiran pejabat eksekutif. Arif menilai momen ini seharusnya dimanfaatkan pemerintah daerah untuk membuka ruang dialog langsung dengan masyarakat.
“Tinggal datang, duduk, dan mendengar. Tidak perlu biaya. Tapi kok masih enggan? Ini pertanyaan besar tentang komitmen eksekutif terhadap rakyatnya,” sindir Arif.
Menutup jalannya konferensi, Arif bahkan melemparkan kritik terkait etika pejabat. Ia menyinggung kabar adanya praktik pembagian bonus di kalangan tertentu di tengah isu defisit anggaran.
“Kalau memang benar ada bagi-bagi bonus, walaupun ada payung hukumnya, tetap saja tidak pantas. Apalagi kondisi ekonomi rakyat sedang sulit. Pejabat mestinya tahu etika,” ujarnya lantang.
Konferensi Rakyat yang diinisiasi Brandal Alif ini bukan sekadar acara seremonial. Ia mencerminkan keresahan masyarakat yang menuntut transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran daerah.
Acara ini juga menjadi alarm demokrasi lokal, di mana suara buruh, akademisi, dan masyarakat sipil bersatu menyuarakan kritik sekaligus menawarkan solusi. Ketidakhadiran pejabat eksekutif justru menambah catatan publik bahwa komunikasi dua arah antara pemerintah dan rakyat masih jauh dari ideal.
Bagi sebagian warga yang hadir, forum ini memberi harapan bahwa suara rakyat tidak boleh lagi dipandang sebelah mata, terlebih ketika menyangkut hajat hidup bersama melalui APBD.