Polemik Kuota Haji 2024: Antara Tuduhan Korupsi, Diskresi Kemenag, dan Sorotan DPR

Table of Contents


 Polemik kuota haji 2024 memicu Pansus Hak Angket DPR. Benarkah Kemenag melanggar aturan atau sekadar diskresi administratifg

Kabar Rembang, Jakarta – Penyelenggaraan ibadah haji 2024 yang seharusnya menjadi momen khusyuk bagi umat Islam Indonesia justru menyisakan polemik besar di ranah politik dan hukum. Dugaan korupsi dalam pengelolaan tambahan 20.000 kuota haji oleh Kementerian Agama (Kemenag) di bawah kepemimpinan Menteri Yaqut Cholil Qoumas memicu sorotan tajam publik, hingga berujung pada investigasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Haji oleh DPR RI.

Kisruh ini bermula pada Oktober 2023 ketika Indonesia mendapat kabar baik berupa tambahan 20.000 kuota haji dari Pemerintah Arab Saudi. Berdasarkan kesepakatan antara Komisi VIII DPR dan Kemenag, kuota haji 2024 ditetapkan sebanyak 241.000 orang, dengan rincian 221.720 untuk jemaah reguler (92%) dan 19.280 untuk jemaah haji khusus (8%), sesuai amanat UU No. 8 Tahun 2019.

Namun, dalam praktiknya, Kemenag dianggap mengubah porsi tambahan kuota tersebut menjadi 50:50, yakni 10.000 untuk reguler dan 10.000 untuk khusus. Keputusan inilah yang kemudian menuai kritik keras, karena dinilai menyimpang dari aturan yang berlaku.

Kementerian Agama berdalih bahwa perubahan itu bukan bentuk penyalahgunaan wewenang, melainkan respons atas kebijakan baru Pemerintah Arab Saudi yang menerapkan sistem zonasi di Mina sejak Desember 2023. Zonasi tersebut membagi lokasi pemondokan menjadi lima area dengan tarif berbeda, di mana zona dekat Jamarat membutuhkan biaya lebih tinggi.

Menurut Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Hilman Latief, kuota tambahan tidak mungkin sepenuhnya ditempatkan di zona 3 dan 4 yang sudah penuh. Karena biaya jemaah reguler tidak mencukupi untuk zona 2, sebagian kuota tambahan akhirnya dialihkan menjadi haji khusus yang memiliki standar biaya lebih tinggi.

Sebagai dasar hukum, Kemenag menerbitkan SK Dirjen PHU Nomor 118 Tahun 2024 pada 29 Januari 2024, yang mengatur penempatan 10.000 jemaah tambahan ke skema haji khusus.

Meski ada alasan teknis, DPR menilai keputusan itu menyalahi aturan. Bahkan, sejumlah anggota dewan menuding adanya praktik penyalahgunaan kuota hingga dugaan permainan korupsi. Puncaknya, DPR membentuk Pansus Hak Angket Haji pada 9 Juli 2024 untuk mengusut persoalan ini.

Tak hanya itu, KPK juga ikut turun tangan melakukan investigasi terkait dugaan adanya aliran dana dan penyimpangan dalam pengelolaan kuota tambahan. Kasus ini pun menjadi perbincangan hangat di ranah publik, mengingat haji adalah ibadah yang sangat sensitif bagi masyarakat Indonesia.

Di tengah polemik yang terjadi, penyelenggaraan haji 2024 juga mencatatkan sejumlah capaian positif. Salah satunya adalah penurunan signifikan angka kematian jemaah. Hingga hari ke-44 pelaksanaan, jumlah jemaah yang wafat tercatat 276 orang, jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 773 orang. Angka ini menjadi rekor terendah sejak 2015.

Selain itu, pelayanan kesehatan dan manajemen keberangkatan juga mendapat apresiasi dari sebagian kalangan, meski tetap ada catatan kritis soal transparansi kuota.

Pertanyaan utama yang kini mencuat adalah apakah perubahan alokasi kuota tersebut bisa dianggap melanggar konstitusi. Sejumlah pakar hukum menilai keputusan Kemenag lebih tepat dipandang sebagai bentuk diskresi administratif yang sah, karena dibuat untuk merespons kebijakan baru Arab Saudi.

Diskresi itu memang menimbulkan ketidaksinkronan dengan aturan sebelumnya, namun secara teknis masih dalam kerangka penyelenggaraan haji yang lebih adaptif. Kemenag berargumen bahwa keputusan cepat itu perlu agar pelaksanaan haji tidak terganggu dan jemaah tetap bisa terlayani.

Kasus kuota haji 2024 menjadi pelajaran penting bahwa penyelenggaraan ibadah terbesar umat Islam Indonesia bukan hanya soal manajemen teknis, tetapi juga berkaitan erat dengan politik, hukum, dan kepercayaan publik.

Apakah Kemenag benar melakukan pelanggaran hukum atau hanya menjalankan diskresi dalam kondisi darurat, kini menjadi tugas Pansus dan KPK untuk membuktikannya. Sementara itu, masyarakat berharap agar polemik ini tidak kembali mengorbankan jemaah haji yang seharusnya mendapat pelayanan terbaik dari negara.